Jumat, 05 November 2010

Ajarkan Kecerdasan Emosi Sejak Dini

Sejak dini balita dilatih mengendalikan emosi, kelak ia disukai teman karena baik hati! Ajarkan kecerdasan emosi sejak dini.

Mengenal emosi diri (mulai usia 2 tahun).
• Sebutkan berbagai emosi. Semisal, balita sedang cemberut, Anda bisa bertanya, ”Kenapa kamu cemberut sayang? Kesal karena dilarang bermain, ya?”

Dengan begitu anak dipandu untuk terbiasa mengenali kondisi emosinya dan penyebab munculnya emosi itu. Semakin sering balita mendengar jenis emosi dan pemicunya, ia belajar menilai sendiri emosi seperti apa yang sedang terjadi padanya.
• Tiap minggu, gambarkan perasaan yang dialami. Anda dapat memberi warna “biru” untuk rasa sedih, “merah” untuk kejutan, “merah muda” untuk senang, dan “hitam” untuk perasaan marah. Bahas dengan anak setiap kali dia merasakan salah satu dari perasaan-perasaan yang Anda tempelkan tanda warnanya di kulkas rumah.

Kontrol diri (bisa mulai usia 2 tahun)
• Tidak semua keinginan terpenuhi dalam waktu singkat. Ia harus belajar bersabar untuk mendapatkan benda yang ia inginkan. Semisal ia merengek minta es krim. Anda bisa memintanya bersabar karena es krim harus dibeli dulu. Bila balita tetap merengek, tarik napas dalam-dalam dan hitung sampai sepuluh. Tinggalkan anak dengan orang yang bisa dipercaya, lalu temui mereka kembali setelah balita tenang.
• Menangis atau berteriak-teriak tak akan menyelesaikan masalah. Contohnya, Anda tidak akan tergerak memberikan kue sampai ia bicara dengan suara pelan.
• Belajar konsekuensi. Jika diajak ke pertokoan dan di sana ia menangis dan merengek, ajak ia langsung kembali ke mobil tanpa membeli apa-apa.

Memotivasi diri sendiri (dari usia 1 tahun).
• Berlatih menghadapi kesulitan, terbangun mentalitas anak yang kuat, yakni tidak cengeng, tidak menyerah menghadapi kesulitan. Contoh sederhana ketika anak belajar jalan dan ia jatuh, ibu merespon, "Ayo bangun lagi..” Dengan begitu anak akan berusaha bangkit tanpa menangis. Jika Anda langsung menolong, ia cenderung menangis karena dengan menangis ia yakin Anda tidak akan melepaskannya lagi.
• Belajar tanggung jawab, ketika anak lelah bermain dan ingin segera makan, arahkan ia untuk membereskan mainannya dahulu baru makan.
• Memberi kesempatan mencoba dan mengajarkan kemandirian. Pola pengasuhan yang serba melayani kebutuhan anak, membuatnya tak cepat mandiri. Beri dia motivasi untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Tegaskan ia mampu. Jika gagal, dorong balita untuk mencoba lagi.

Mengenali emosi orang lain/empati (bisa dari usia 2 tahun).
• Lewat contoh dan tindakan. Semisal, melihat anak memukul kucing peliharaan. Katakan, “Sakit lho kalau dipukul. Coba kalau Ibu membelai kamu rasanya lebih enak, kan?” Dengan cara ini, secara langsung Anda memberi anak pengertian, memukul itu tidak baik.
• Beri pujian. Bila anak berbuat baik, seperti mau meminjamkan mainan pada teman, katakan bahwa sikapnya itu tepat. “Anak Ibu baik sekali mau meminjamkan mainan ke teman. Lihat, temanmu senang sekali.”
• Perhatikan kebiasaan orang lain. Ajarkan anak untuk memerhatikan kebaikan orang lain. Ajak ia memerhatikan seseorang yang membantu orang lain, “Lihat anak itu, baik sekali ya, mau mengambilkan kotak susu kamu yang terjatuh.”
• Menunjukkan beragam emosi lewat media seperti gambar, televisi, majalah, buku dan sebagainya. Jangan lupa sebutkan situasi emosi para tokoh dalam media tersebut. Misalnya membacakan buku cerita tentang anak yang gembira karena ayahnya membelikan sepeda yang sudah lama diidam-idamkannya. Beri komentar seperti, “Lihat, Chandra senang karena ayahnya membelikan sepeda.”

Pandai membina hubungan (bisa diajarkan mulai usia 1 tahun).
• Jangan membatasi lingkungan bermain. Biarkan anak bermain dengan siapa saja yang disukainya.
• Orang tua perlu mendampingi anak, terutama jika memasuki lingkungan baru. Namun bukan berarti harus selalu berada di sebelah anak, setidaknya ada di sekitarnya. Ini penting mengingat anak belum mampu menilai ”benar” dan ”salah”.
• Mengajak kumpul-kumpul acara keluarga atau teman-teman seperti acara ulang tahun anak teman atau sepupu. Dengan begitu balita kenal anak-anak dan keluarga lain.
Sudah “Cerdas Emosi” Jika..
• Mengenali emosi diri. Bila si kecil melihat anak lain menangis atau ngambek, apakah si kecil tahu anak itu sedang sedih atau kesal?
• Mengontrol diri. Apabila anak lebih menggunakan cara komunikasi verbal untuk menyelesaikan masalah daripada menangis atau berteriak-teriak. Semisal meminta sesuatu yang tidak mungkin didapatnya sekarang.
• Memotivasi diri. Jika sudah bisa bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya, semisal, membereskan mainannya sendiri tanpa disuruh setelah selesai bermain.
• Mengenali emosi orang lain. Bila anak mampu berempati kepada kesedihan orang lain. Semisal menghibur teman yang sedang menangis.
• Membina hubungan dengan orang lain, semisal mengalah meminjamkan mainan kepada adik yang meminta mainannya.(Ayah Bunda)

Read More......

5 Kecerdasan Emosional

Pengertian cerdas sangat beragam. Ada IQ yaitu cerdas inteligensia. Ada SQ, cerdas spiritual dan EQ (Emotional Intelligence), kecerdasan emosi. Teori tentang kecerdasan emosi dikembangkan pertama kali tahun 1980-an oleh beberapa psikolog dari Amerika Serikat: Howard Gardner, Peter Salovey dan John Mayer dan menjadi terkenal saat Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University, menulis buku Emotional Intelligence tahun 1995.

Kecerdasan emosional dapat dikembangkan sejak usia dini. Konon anak yang punya EQ tinggi memiliki kepribadian yang disukai, lebih mudah bergaul dan lebih sehat jasmaninya berkat kemampuannya mengontrol emosi.

5 Wilayah Kecerdasan Emosi (Menurut Goleman)

1. Kemampuan Mengenali Emosi Diri: anak kenal perasaannya sendiri sewaktu emosi itu muncul. Seseorang yang mampu mengenali emosinya akan memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan yang muncul seperti senang, bahagia, sedih, marah, benci dan sebagainya.
2. Kemampuan Mengelola Emosi: anak mampu mengendalikan perasaannya sehingga emosinya tidak meledak-ledak yang akibatnya memengaruhi perilakunya secara salah. Meski sedang marah, orang yang mampu mengelola emosinya akan mengendalikan kemarahannya dengan baik, tidak teriak-teriak atau bicara kasar, misalnya.
3. Kemampuan Memotivasi Diri: anak dapat memberikan semangat pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Ia punya harapan dan optimisme yang tinggi sehingga memiliki semangat untuk melakukan suatu aktivitas.
4. Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain: balita bisa mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain merasa senang dan dimengerti perasaannya. Kemampuan ini sering juga disebut sebagai kemampuan berempati. Orang yang memiliki empati cenderung disukai orang lain.
5. Kemampuan Membina Hubungan: anak sanggup mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung punya banyak teman, pandai bergaul dan populer.(Ayah Bunda)

Read More......

Kamis, 21 Oktober 2010

Bayi Masuk Sekolah

Kesadaran para bunda akan pentingnya stimulasi untuk bayi, tak diimbangi dengan waktu yang cukup.

Membaca buku, majalah atau browsing internet untuk belanja ilmu tentang stimulasi, tak sempat mereka lakukan. Sekolah bayi yang dinilai sebagai tempat yang tepat untuk meninggalkan bayi mereka selama bekerja, menjadi pilihan.

Apa itu sekolah bayi? Tempat para bayi melakukan kegiatan untuk merangsang kemampuan motorik (kasar dan halus), seperti berguling, merangkak, berdiri, berjalan dan sebagainya. Bayi dilatih selama 50-60 menit, satu kali seminggu. Ada juga sekolah yang menambahkan latihan-latihan atau kegiatan yang ditujukan untuk menstimulasi aspek kecerdasan otak seperti membacakan cerita dan menyanyi.

Perlukah bayi sekolah? Merangsang kepandaian motorik bayi bisa dilakukan di rumah. Namun Bunda yang bekerja di luar rumah mungkin merasa khawatir pengasuh anak di rumah tidak dapat memberikan stimulasi yang tepat. Tapi jika Anda hanya menyerahkan bayi ke sekolah bayi dan semua aktivitas tidak diulang lagi di rumah, maka latihan yang diberikan di sekolah tidak bermanfaat. Bayi cukup dilatih di rumah dengan stimulasi yang merangsang perkembangan motoriknya. Banyak yang bisa dilakukan di rumah, misalnya: bermain terowongan dengan menggunakan kain panjang untuk latihan motorik kasar, memegang kain perca untuk melatih motorik halus dan memberinya berbagai mainan yang sesuai usianya.

Sekolah bayi untuk apa?

* Sosialisasi. Melatih anak bersosialisai sebenarnya dapat dilakukan di rumah. Misalnya anak diajak berkenalan dengan anak sebaya di sekitar rumah, atau diajak ke playground agar bayi bisa melihat anak-anak seusianya. Memasukkan anak ke sekolah bayi bisa menjadi pilihan bila anak tinggal di rumah dengan lingkungan sekitar tidak ada playground atau teman sebaya, sehingga ia harus di rumah saja.
* Untuk menstimulasi otak. Stimulasi otak bisa dilakukan di rumah. Yang penting orang tua paham perkembangan otak anak. Bila bayi dilatih sesuatu yang belum waktunya mencapai kematangan untuk hal itu, latihan tidak ada gunanya. Menstimulasi otak bayi dapat Anda lakukan sendiri, asalkan Anda mengerti tahap perkembangan anak di usia itu. Misalnya anak usia 12 bulan sudah bisa membalik halaman buku, Anda bisa sediakan buku anak-anak yang tidak bisa sobek. Di usia satu tahun, bayi mencapai kematangan di bidang bicara. Maka, ajaklah anak bicara.

Jangan Terlalu Berharap

* Sekolah bayi akan membuat anak menjadi lebih pandai dalam kemampuan motoriknya. Tunggu dulu! Faktor kematangan pegang peran penting dalam hal ini. Sekalipun bayi dilatih tapi otot-ototnya belum matang, bayi tetap tak dapat melakukan aktivitas motorik yang diharapkan. Misalnya, orangtua berharap anaknya akan bisa jalan sebelum usia 12 bulan tapi otot-otot kaki anak belum matang, maka tidak dijamin latihan akan membuat anak bisa berjalan. Jangan berharap dengan memasukkan anak ke sekolah bayi, bayi akan cepat berkembang kepandaian motoriknya.
* Anak tampak berkembang karena disekolahkan. Hilangkan pikiran ini dan jangan lengah, menyerahkan semuanya kepada pihak sekolah sehingga tidak memberikan stimulasi di rumah. Sekolah hanya membantu dan Anda harus tetap memberikan stimulasi dan latihan di rumah.

Memilih sekolah bayi
• Tidak jauh dari rumah.
• Pastikan programnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan bayi Anda.
• Jangan ragu untuk menanyakan kompetensi pengajarnya.
• Perhatikan sarana dan prasarananya apakah sudah sesuai untuk perkembangan bayi.(Ayah Bunda)

Read More......